Puisi dan Narasi

KRITIK SASTRA

Acep Zamzam Noor

11/6/20256 min read

Tentang Buku

Judul: Kusimak Sepi di Puncak Gemuruh Omba

Penulis: Asep Budi Setiawan

Penyunting: Nizar Machyuzaar

Desain Sampul: Zeni Setyo Nugroho

Desain tata letak: Tim Kreatif MPI

Penerbit: Mata Pelajar Indonesia

ISBN: dalam proses pengajuan

Cetakan: 2025, 300 Eksemplar

Tebal: 64

Harga: Rp40.000,00

a piece of paper with a poem written on it
a piece of paper with a poem written on it
PUISI DAN NARASI

Sebuah Pengantar

Oleh Acep Zamzam Noor

SAYA sudah cukup lama mengenal Asep Budi Setiawan di media sosial, kebetulan teman-temannya sesama alumni Unpad adalah teman-teman saya juga semasa di Bandung dulu. Sementara pertemuan dengannya secara luring alias tatap muka masih belum lama, dan itu pun kejadiannya tidak disengaja. Sekitar dua bulan lalu saat saya menghadiri pameran seni rupa dalam rangka Festival Ciremai 2024 di Hotel Santika, Kuningan, seseorang menghampiri saya dan memperkenalkan diri sebagai Asep Budi Setiawan. Dia hadir mendampingi Pj. Bupati yang membuka pameran tersebut. Asep memang seorang pegawai negeri, bahkan pegawai negeri senior, atau lebih tepatnya salah seorang pejabat di Kabupaten Kuningan. Jabatan terakhirnya adalah kepala dinas, saya kurang tahu dinas apa yang dipimpinnya, yang jelas ada kaitan dengan bidang ekonomi. Dalam waktu singkat kami langsung akrab, ngobrol banyak hal, termasuk tentang buku-buku yang ditulisnya, baik yang sudah terbit maupun yang akan terbit.

Asep menulis sudah cukup lama, terutama artikel dan opini di media massa. Tema yang ditulisnya macam-macam, mulai dari masalah kuliner, pariwisata, sosial hingga politik, termasuk masalah birokrasi di mana ia terlibat langsung di dalamnya. Tulisan-tulisannya tentang dunia birokrasi dengan segala persoalannya telah dikumpulkan dalam sebuah buku yang lumayan tebal. Ia bercerita tentang pengalamannya sebagai pegawai negeri, mulai dari staf hingga mencapai eselon tinggi. Ia juga bercerita betapa ruwetnya mengurai benang kusut birokrasi. Dibutuhkan ketulusan, kecerdasan dan kreativitas selain kerja keras. Tentu saja ia juga mengutarakan pandangan-pandangan pribadinya tentang birokrasi yang ideal, yang tujuannya akan bermanfaat bagi masyarakat luas. Salah satu keistimewan dari buku ini karena ditulis oleh pelakunya sendiri, oleh seorang birokrat sebelum memasuki masa pensiun. Jadi bukan sekedar buku memoar.

Asep Budi Setiawan juga dikenal sebagai pecinta binatang, terutama kucing. Asep memelihara macam-macam kucing, merawatnya dan mengamati perilakunya dengan penuh empati. Ia bisa membedakan mana yang termasuk kucing asing, kucing diaspora, kucing naturalisasi maupun pribumi dengan karakternya masing-masing. Kucing diperlakukan sebagai teman atau rekan kerja, bukan hanya dirawat dan disayangi semata, tapi juga diajaknya berdialog. Seperti halnya Nabi Sulaiman, birokrat yang satu ini punya cara untuk berkomunikasi dengan macam-macam kucing hingga mengetahui apa perasaan, keinginan, harapan serta aspirasi mereka. Berkomunikasi tentu saja membutuhkan sebuah bahasa, dan bahasa yang tercipta antara Asep dengan kucing adalah bahasa khusus yang muncul secara intuitif, muncul dari ketulusan serta keterbukaan satu sama lain. Konon kucing juga punya perasaan empati seperti halnya manusia, juga punya perasaan cinta dan benci. Pengalaman berkomunikasi dengan kucing tersebut ditulisnya sebagai pengalaman empirik yang unik.

Setiap hari ia menuliskan pengamatannya yang intens terhadap kucing, yang terkadang diasosiasikan dengan perilaku manusia sebagai mahluk sosial. Tak ketinggalan ia juga menulis mengenai sejarah serta budaya kucing baik di dunia maupun di kawasan Nusantara. Ada pertanyaan kenapa sebagian besar orang dari berbagai latar suku dan budaya menyukai kucing, dan kadang tampak lebih menyayangi kucing ketimbang sesama manusia? Lalu kenapa jika seorang perempuan yang tergila-gila pada kucing konon akan kesulitan mendapat jodoh atau mempunyai keturunan? Tulisan-tulisan tentang kucing tersebut kini telah dibukukannya juga.

Media sosial rupanya menjadi salah satu pemicu terbesar kenapa Asep Budi Setiawan produktif menulis. Di facebook secara istiqomah ia menayangkan paling tidak sebuah tulisan pada setiap harinya, dan hal ini sudah berlangsung sejak lama. Respon pembaca yang berinteraksi langsung dengan penulis membuatnya lebih bergairah, terlepas respon tersebut sifatnya mendukung atau mengkritisi. Tulisan-tulisannya di facebook kadang berseri sesuai dengan tema atau bahkan berdasarkan bentuk tulisan itu sendiri. Salah satu bentuk tulisan yang pernah ditayangkannya adalah puisi bebas satu bait yang dilengkapi narasi dua sampai tiga paragraf. Asep agak ragu-ragu menyebutnya sebagai “puisi” dan mempersilakan pembaca untuk menilainya sendiri.

Bentuk tulisan ini unik, mengingatkan saya pada haibun, salah satu genre dari puisi tradisonal Jepang. Bedanya, haibun dimulai dengan sebuah narasi yang bercerita tentang apa saja, misalnya mengenai perjalanan, lalu di akhir tulisan ditampilkan sebuah puisi pendek haiku sebagai gong. Tapi yang dilakukan Asep sebaliknya, tulisan dimulai oleh puisi bebas satu bait (bukan haiku) kemudian diteruskan dengan narasi mengenai apa saja, namun masih ada kaitan dengan tema puisi. Di sini puisi berfungsi sebagai pemicu bagi lahirnya narasi.

Sebagai contoh di bawah ini saya kutip salah satu puisinya:

Sahabat,

secangkir kopi, yang tersaji di meja,

mengingatkanku padamu.

Selalu hazelnut, menjadikan suasana hati hangat

Setelah sebait puisi sederhana di atas Asep Budi Setiawan kemudian bercerita tentang perkenalannya dengan kopi untuk pertama kalinya. Konon ia mengenal kopi yang sebenarnya, kopi dalam pengertian bukan kopi sasetan, justru ketika mengantar Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat ketika itu, mengunjungi beberapa tempat di Kabupaten Kuningan. Kopi yang diminum Gubernur bukan kopi sembarangan namun kopi yang sudah dipersiapkan secara khusus, dibawa ajudannya dari Gedung Sate, Bandung. Dalam kesempatan itu Asep sempat mencicipinya, dan kaget karena rasanya sangat pahit. Ia baru tahu bahwa kopi “serius” itu biasanya tanpa dicampur gula hingga aroma serta rasa kesatnya yang khas terasa di lidah dan menimbulkan sensasi tersendiri. Dari peristiwa kecil ini ia kemudian berbicara tentang masalah tafsir dan sudut pandang, baik tafsir terhadap kopi itu sendiri maupun kehidupan secara lebih luas. Kopi kemudian menjadi lambang untuk sebuah ekspresi. Gambar jantung hati atau bunga yang terbentuk pada buih-buih kopi dalam cangkir mempunyai makna tersendiri. Di bagian lain puisinya Asep juga membahas soal kopi lagi, tapi kali ini dengan apresiasi yang levelnya lebih tinggi. Ia sudah mengenal kopi dan mulai terbiasa meminumnya tanpa dicampur gula:

Sahabat,

menyeduh kopi, tanpa kehadiran gula

bila terbiasa, rasa itu bisa menggoda.

Seperti halnya menghadapi realita

Sebuah puisi lain, kali ini renungan tentang meja, menarik juga untuk kita simak bersama-sama:


Sahabat,

meja ini, selalu di meja ini, sebuah mimpi

mewujud.

Bisa bersua denganmu, bercerita apa saja,

tak terstruktur, namun selalu menarik

Setelah mengamati meja, tiba-tiba Asep Budi Setiawan terkenang peristiwa di zaman revolusi dulu, yakni Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, yang kemudian berlanjut dengan konferensi dan perundingan lain, termasuk Perundingan Linggarjati yang legendaris itu, yang kebetulan berlangsung di wilayah Kuningan. Konferensi dan perundingan tersebut merupakan upaya-upaya diplomatik antara pemerintah Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia yang kemerdekaannya baru saja diproklamirkan. Meja mempunyai makna yang luas baik dalam fungsinya sebagai perabot sehari-hari maupun untuk acara-acara resmi kenegaraan. Asep secara pribadi memandang meja sebagai media untuk merancang segala rencana dan angan-angan, merumuskannya dan kemudian mengeksekusinya di lapangan. Meja juga media bagi silaturahmi keluarga dan teman-teman, sekadar makan-makan dan bercengkerama di akhir pekan.

Dalam serial tulisan ini (puisi dan narasi) tampaknya Asep Budi Setiawan berproses secara intuitif, rutinitas yang diniatkan membuat tulisan-tulisannya terasa ringan, ia tidak menunggu lahirnya gagasan tertentu namun mengalir dengan apa yang ada di benaknya. Apa yang terbersit pertama kali itulah yang kemudian ditulisnya, seperti mendengar lagu, menyantap sarapan pagi atau bersiap-siap pergi ke kantor. Peristiwa-peristiwa di akhir pekan juga menjadi tema tulisannya: touring naik sepeda motor bersama komunitas ke gunung atau pantai, mengunjungi situs-situs purbakala atau kampung adat. Baginya menulis menjadi sesuatu yang menggembirakan, tanpa beban macam-macam, tanpa target muluk-muluk, justru dengan cara itulah tulisannya malah terasa spontan dan alamiah. Seperti puisi yang satu ini, yang ditulis sehabis mendengarkan lagu kenangan di radio. Sebuah ungkapan tentang cinta di masa lalu, yang secara jujur diakui getarannya masih terasa sampai sekarang:

Sahabat,

selarik tembang, membuatku terjaga.

Betapa susah berdusta, sulit untuk lupa

sebab kamu tetap yang terindah

Dalam setiap puisi yang entah kenapa tidak diberinya judul, Asep Budi Setiawan selalu memulainya dengan kata “Sahabat”. Puisi-puisinya seolah sapaan yang disampaikan secara perlahan-lahan pada orang terdekatnya. Lalu ia menggambarkan sebuah impresi yang dilihat atau dialaminya pada momen itu. Impresi-impresi tersebut, meski hanya menggambarkan hal yang biasa-biasa saja atau katakanlah remeh temeh, bagi saya tetaplah bisa mempunyai nilai puitis sepanjang pengungkapannya tepat dan pas serta memberikan pengaruh sekecil apapun pada pembaca. Ketika bersama komunitasnya mengadakan touring ke Pangandaran, Asep menuliskan impresinya tentang laut dan nelayan. Meski ungkapannya sederhana, penggambarannya sesuai apa yang terlihat, namun menurut saya diksi yang dipilih tepat dan pas hingga meninggalkan kesan mendalam pada pembaca:

Sahabat,

sepanjang hari, merentang jala .

Laut setia menunggu angin

dan lampu-lampu kuning sudah rata menyala

Puluhan puisi yang disertai narasi ini dikumpulkan di bawah judul Kusimak Sepi di Puncak Gemuruh Ombak. Sebagai pembaca saya merasakan bahwa nuansa puitis dari karya tulis Asep Budi Setiawan ini bukan hanya terletak pada bagian puisinya saja, tapi juga pada bagian narasinya. Bahkan beberapa narasi terutama yang menggambarkan suasana alam, kenangan dan keimanan terasa seperti prosa liris yang lembut. Begitu menyentuh hati. Demikianlah sedikit catatan ringan untuk buku terbaru dari seorang birokrat yang produktif menulis ini. Selamat membaca.@abs