Dari Paris dengan Cinta : Suatu Memoar

KRITIK SASTRA

Seno Gumira Ajidarma

11/7/20258 min read

Memoar (MIM-wahr), tentu maksudnya adalah catatan kenangan. Namun sebagai genre susastra, catatan ini memiliki sejumlah elemen, yang melaluinya terbangun kualitas kenangan, mulai dari evolusi emosi, rintangan dalam hidup, sudut pandang, tema, kejujuran, dan yang spesifik memoar tentunya adalah “suara”--maksudnya otentisitas kepenulisannya.

Apakah memoar ini memang terdengar seperti suara penulisnya? Dari Paris dengan Cinta adalah kumpulan puisi. Seberapa jauhkah “definisi” memoar Anglo-Perancis paling sederhana dari abad ke-15, “rekaman tertulis” maupun “sesuatu yang ditulis supaya tersimpan dalam pikiran”, terpenuhi?

Rumusan yang lebih canggih, memoar adalah kenangan-kenangan bertumbuh dan berkembang, atawa peristiwa-peristiwa yang dengan suatu cara berakibat kepada penulisnya.
Memoar juga memusatkan perhatian kepada pemikiran dan perasaan penulisnya tentang peristiwa-peristiwa tersebut; apa yang mereka pelajari, dan bagaimana mereka meleburkan pengalaman-pengalaman itu ke dalam hidup mereka (https://www.supersummary.com/memoir/#memoir-definition)

Meski tidak ada klaim sebagai memoar, tetapi Dari Paris dengan Cinta, dalam formatnya sebagai puisi, mungkinkah diperiksa dengan merujuk wacana memoar tersebut?

Sajak pertama, “rue de bellevile”, jelas cerita tentang ‘kita’ yang meninggalkan Paris (seine, eiffel), dan ‘kita’ adalah ‘ku’ dan ‘mu’ yang seperti akan memulai babak kehidupan baru:

kita tak meninggalkan apa pun, sayangku

hanya ingatan dan menara katakata, kasihku

tapi bagaimana dengan masa depan, desahmu

dia selalu bersama kita terbungkus waktu, kataku

Kata ‘sayangku’ dan ‘kasihku’ mengesankannya sebagai pasangan, dan kata Cinta pada judul langsung mengesahkannya; tetapi yang rupanya berada dalam ancaman: tapi bagaimana dengan masa depan -- ini kata ‘mu’; jadi ada yang gelisah, dan ada yang menenangkan, walau belum jelas seperti apa masa depan itu. Betapapun, selalu bersama kita dapat terandaikan bagi aku-lirik masa depan mereka sudah ditentukan, seperti beriman kepada takdir (aku percaya pada ketentuan ilahi), meski belum mereka ketahui. Toh tetap dimungkinkan:

lalu pesawat tinggal landas

melupakan di mana gerangan langit

lalu kita menutup daun jendela

meringkas kenangan dalam selimut

dan menjemput mimpimimpi di jakarta

Jika puisi sebagai susastra tertutup, yang dalam teori lama (meski namanya new criticism) berarti mandiri dalam dirinya sendiri; sebagai teks adalah terbuka: artinya data tempat dan tanggal, bintaro, 151022, sahih dilibatkan dalam pembacaan. Apalagi ini memastikannya sebagai memoar: segala sesuatu tentang Paris ditulis dari Bintaro (dan Sanur, dll., jauh dari Paris, berpuluh tahun kemudian).

***

Sahih sebagai memoar, sekarang seperti apakah kualitas kenangannya? Setelah sajak pertama sebagai pembuka, tetapi adalah penutup masa tinggal enam lebaran (dari satu-satunya sajak berjudul bukan Perancis: “paris ketupat”) di Paris, selebihnya adalah kilas balik, kenangan itu, di bawah payung Paris sebagai Kota Cinta.

maka kujemput cintaku di charles de gaulle

……………………………………………….

peluknya masih membayangkan Jakarta

Ini mengawali enam lebaran dalam 45 sajak yang akan berakhir dengan judul au revoir, setelah mengarungi sajak-sajak yang sebagian besar berjudul nama-nama tempat, yang menjadi bagian dari kenangan ‘ku’ bersama ‘mu’.

Nama tempat, ataupun objek dan tema (le parfum, le mode, le cuisine) menjadi pemantik bagi representasi cinta, percintaan romantik tepatnya (dominan di antara yang ‘empat’: “tapi adakah cinta yang segi empat, mon amour?” katamu / cinta kepada tuhan, kepada rasul, pada negara dan keluarga), yang bukan hanya dikenang, tetapi dihayati, dijaga, bahkan dihidupkan, dengan sebisa mungkin mengungkap kembali pesona, ketakjuban, dan kebahagiaan, yang kalau pun tidak sama, pencapaiannya setara.

Ini menyangkut bahasa. Puisi pula. Lebih dari segalanya, apakah format puisi itu menjadikannya puisi? Tantangannya tentu mengolah data menjadi susastra. Ketrampilan? Barangkali. Namun tengok dulu kutipan berikut:

maka bila kau adalah paris bagiku, mon amour

maka aku adalah eiffel bagimu, ma cherie

Cinta tidak sekadar diungkap dalam metafor, tetapi menjadi dunia yang dihidupi, dunia cinta, tempat apapun itu, subjek apapun itu, makanan apapun itu, kehadirannya hanya relevan dalam kerangka cinta:

sebaikbaik masakan adalah yang tak berbumbu, mon amour

tapi selezatlezatnya bumbu adalah la cuisine française, ma cherie

karena katanya “tu es ce que tu manges”

maka jatidirimu adalah apa yang dimakan

juga apa siapa dari mana kamu berasal

…………………………………………………..

maka segala apa yang kita cintai, mon amour

atau siapa yang kita cintai, kekasih

atau bagaimana kita mencintai, ma cherie

juga mengungkapkan apa siapa jatidiri kita

Hubungan romantik itu seperti diserap Paris, untuk dimunculkan kembali sebagai Paris yang hanya menjadi milik ‘ku’ dan ‘mu’; sebetulnya dua orang asing, tetapi yang berumah dalam arti sebenarnya di bawah langit maupun lorong-lorong Paris. Bahkan secara teknis telah menjadi pendekatan yang terbaca dengan jelas, seperti cuplikan dari la tour eiffel berikut:

…………………………………………………….

aku telah meleburkan kerangka baja itu

merasuk ke dalam tubuh indah kekasihmu

hingga marwah cinta terus bertumbuh

berdarah dan berdaging juga berjantung

maka sempurnalah eiffel-ku bagimu,” katanya

dan kekasihku kini terpaku di kaki menara

wajahnya berubah seperti pelangi

lalu langit champs de mars tibatiba gelap

cuaca dingin pun terasa menyengat

dan butirbutir kemilau tampak berjatuhan

lalu kasihku terduduk di bangku taman

lalu ia rebahkan tubuh ke pangkuanku

lalu air menyumbat setiap kanon di trocadero

lalu salju menderas membekukan segala

juga cinta kita berdua : selamanya!

Ini tidak menyangkut sekadar tempat-tempat turistik, yang tersulap menjadi intim dan personal, melainkan juga dalam subjek yang tidak biasanya terhubung dengan gairah cinta romantik, seperti misalnya perpustakaan dalam sajak TGB :

di perpustakaan itu, mon amour

telah kutuliskan cintaku di setiap buku

tidak hanya di tiap halaman ganjil

juga kuungkapkan di lembaran genap

tapi di très grand bibliotheque itu, sayangku

jutaan buku berdesakdesak di atas ribuan rak

bagaimana mungkin kutemukan cintamu

bila kau tanamkan diamdiam di setiap cetakan

hingga cintamu merasuk dan jauh melesap

ke dalam ribuan helai demi sehelai?

bahkan dengan menutup kedua matamu, ma cherie

kau dapat menemukannya dalam sekejap

karena cintaku terukir di setiap jilid

sejak dari huruf A sampai aksara Z

sejak daftar isi hingga sampul belakang

“termasuk prosa dan puisi?”

termasuk ilmu dan pengetahun

“termasuk analog dan digital?”

termasuk gambar dan suara

cintamu sungguhsungguh tak berbilang, kasihku

apa gerangan yang ingin dan telah kau sampaikan

hingga bangunan tinggi berbentuk buku itu

selalu tampak bergetar dan bercahaya

setiap saat dan di sepanjang musim?

aku lukiskan betapa cintaku hanya untukmu

dengan jutaan aksara dalam ribuan katakata

dengan ratusan kalimat, alinea, dan paragraf

dengan majas dan rima yang tak terhingga

“juga lukisan dan nadanada?”

juga melodi dan rekaman digital

“juga hati dan wujud sejati?”

juga sentuhan serta pelukan

sejak kapankah kau mengawalinya, kasihku

dan bilakah kau akan mengakhiri?

tak ada awal dan tak ada akhir, sayangku

karena cintaku abadi hanya untukmu

lalu jantung hati berpijarpijar di langit malam

ribuan kembang api dinyalakan di menara eiffel

warnanya berpendar dalam gelap yang bercahaya

dan hurufhuruf beterbangan dari jendela kaca

lalu menarinari menyusun berbait puisi

tentang cinta tentang kita tentang berdua

“tak ada yang lebih indah dari ini,” bisikmu

“tak ada yang lebih indah dari cinta,” kataku

kokas, 171122

Jika sajak-sajak dalam buku ini bukan hanya dinikmati, tetapi juga sedikit disisir atau diprètèli, dapatlah dilacak suatu konstruksi pengetahuan, yang tersusun, tersusup, dan terleburkan ke dalam puisi, bukan seperti dituliskan “sambil baca wiki”, melainkan lahir dari pengenalan terbaik selama enam lebaran sebagai waktu kualitatif, waktu terhayati--tempat enam lebaran, dalam prosedur evolusi emosi, dimungkinkan setara belaka dengan selamanya, selama ruang dan waktu masih ada.

Maka pembaca yang terhanyut dalam perahu puisi, tak hanya akan terasuki melankoli, melainkan juga larik-larik ensiklopedis, seperti sajak rue de rivoli ini:

banyak jalan menuju cinta

tapi hanya ada satu rue de rivoli

dengan deretan gedung di satu sisi

dengan ratusan tiang membentuk arkade

maka cinta pun berjajar di setiap langkah

sudah tiga ribu meter jalan cinta digelarkan

dari rue de sévigné hingga place de la concorde

sudah empatpuluh tahun cinta dibangunkan

dari palais du louvre hingga jardin des tuileries

sementara comédie-française berdiri tegak di baliknya

memanggungkan cinta yang tumbuh dan yang patah

ah oui, sudah lima puluh empat kali kita bertemu

di lima puluh empat simpang jalan rivoli

sambil duduk sambil membaca dan minum kopi

sambil menyimak sambil menggoreskan berpena cinta

di setiap kata di setiap tiang di sepanjang lorong

tapi berapa cinta yang telah kau panjatkan, mon amour

atau yang telah kau simpangkan di perjalanan

atau yang selalu kau dambakan setiap malam

selama kita menerangi cinta di dalam gelap

selama kita menyalakan cinta di perapian

cinta dalam segala rasa cinta di setiap musim

cintaku lurus menembus jantungmu, ma cherie

dari pyramide kaca hingga obélisque louxor

menuju bayangmu di setiap persilangan

karena tak ada godaan bahkan di setiap pojokan

karena hatimu telah meliputiku

menyusup jasad mengunci jiwa

di dalam hidup dalam matiku

bintaro, 250223

***

Benarkah Paris hanya cahaya dan cinta hanyalah anggur kebahagiaan belaka? Apabila estetika semestinyalah dihasilkan oleh santan pergulatan hidup, bukan dari bursa keindahan, maka dapatlah dilacak betapa ‘ku’, setelah menyerap dan meresapi segenap pesona Paris bersama ‘mu’ , tiada terhindar dari realitas kelabu di balik segala kegemerlapannya.

Dalam kronologi sajak, yang membuktikan kumpulan sajak ini beralur, sejak sajak ke-40, l’automne, format seperti bersanjak (menjaga jumlah larik per baik, menjaga ketukan, menjaga bunyi akhiran, menjaga makna dalam disiplin bentuk--seperti musisi rap) berguguran seperti dedaunan musim gugur (dan memang bermain dengan metafor musim gugur), untuk digantikan format lain yang sama sekali berbeda. Saat berganti musim dingin, dalam l’hiver, putih salju sudah mengingatkan panas matahari--dan bacalah apa yang tertulis dalam jour de l’an :

…………………………………………………………….

aku tak suka kerumunan ini, mon amour

lebih baik pulang sekarang

sebelum fajar menjebak kita

di antara yang silam dan yang datang

gelombang manusia dari segala arah

kendaraan umum hanya sesudah pagi

dingin angin dinihari menggigitgigit

kita harus berjalan kaki, ma cherie

tinggalkan kalender yang sudah berlalu

tahun baru pun masih di pintu depan

semoga kita tidak sesat di jalan

dan satu jam kemudian:

sunyi menerawang di dalam kamar

langitlangit masih seperti dulu

tak ada tandatanda dan penanda

waktu berjalan seperti biasa

sebagaimana juga kita

tetap berdua dan di sini

menjalani nasib di negeri orang

meniti hari menuju pulang


Begitu jelas, walau ditulis jauh hari kemudian, nun di Senayan, bagaimana ‘kita’ tak lagi terpesona oleh pesta cahaya Paris, bahkan pada malam Tahun Baru, karena hidup sudah begitu nyata kini: menjalani nasib di negeri orang / meniti hari menuju pulang--yang semakin nyata dalam la carte de séjour :

…………………………………………………….

alangkah pedihnya minoritas, ma cherie

di negeri yang bukan milik kita

semua tergantung pada garis tangan

serta senyuman para petugas

tanpa membayar atau dibayar

sampai kapan kita di sini, mon amour

kita tetap warga pendatang

maka dekatdekatlah kita selalu

sebelum cinta direnggut petugas

atau didenda sepanjang usia

hingga kita kembali pulang

membawa kenangan dan harapan

demi masa depan yang belum pasti

Telah disebutkan bahwa kejujuran menjadi salah satu elemen, yang menentukan kesahihan memoir. Itu sudah tampak sejak, semoga uang kiriman sudah datang, bisikmu dalam sajak champs-élysées. Paris sungguh bisa berkurang keindahannya, atau keindahannya menjadi ironi, di mata siapapun yang kekurangan duit.

ketika lapar di negeri orang

tak ada tangan yang bisa dipegang

bahkan trotoir terasa amat panjang

di champs-élysées yang terus cemerlang

…………………………………………

maka di sepanjang avenue kita hanya melihat Tuhan

sementara ribuan pelancong berjalan bergandengan

menikmati wisata sebagai pendatang

sedang kita berdzikir hingga arah pulang

Kiranya ini menjadi penting dalam membangun “suara”, yang akan terdengar oleh telinga-hati pembacanya, sebagai bisikan-bisikan yang bisa dipercaya. Namun bagaimanakah “suara” ini akan dapat ditemukan atau menemukan penulisnya?

Mungkin mesti mundur sebentar. Secara eksplisit ‘ku’ dan ‘mu’, pasangan pecinta itu berada di Paris selama enam lebaran, tetapi ketika data penulisan sajak-sajak sahih ditafsir pada 2022-2023, belum tertemukan penanda dalam sajak yang memastikan kapankah masa enam lebaran itu--sehingga tak dapat sekadar dipegang, berapa puluh tahun silamkah Paris yang dituliskan dari Bintaro itu.

Memang ada sajak place vauban yang cuplikannya begini:

…………………………………………….

ya ya ya hari itu aku ke paris sendiri

membawa diri menyimpan memori

menapaki jalan yang pernah kita lalui

menggali kenangan di sejumlah kedai kopi

di mana kita selalu membangun mimpi

membayangkan bagaimana anak cucu nanti

menjalani takdir dan masa depan mandiri

……………………………………..

Kenangan ini tentang ‘ku’ yang mengenang, juga tanpa penanda kapan, walau penanda yang tidak ditemukan sama sekali bisa menjadi ancang-ancang: tiada segenap gejala pasca-kebenaran, yang berwujud segala temuan ajaib dunia kiwari, yang menghapus jarak, melipat ruang, dan menggunting waktu. Memang tersebutkan kata “digital”, yang lebih seperti nyelonong dari masa penulisan sajak (171122), bukan dari masa yang dikenangkan.

Betapapun, jika kualitas kenangan yang menjadi taruhan, waktu kuantitatif yang mekanis dan tersepakati peradaban seperti jalannya arloji memang tidak perlu diandalkan, melainkan yang kualitatif, tempat segala kalender dan ‘waktu buatan’ keberadaannya dihapuskan, dan manusia kembali kepada dirinya sendiri.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana kenangan bekerja? Rupanya berhubungan dengan ketaksadaran. Merujuk Jung, pengalaman batin maupun inderawi mengendap di bawah ambang kenangan, tempat gagasan berada dalam keadaan subliminal. Namun suatu isyarat atau efek pelatuk (bau atau bunyi yang mengingatkan suasana masa lalu) memunculkan kembali kenangan-kenangan yang dilupakan.

Ada kenangan pahit, yang ingin dilupakan; makanya mengalami ‘proses lupa’. Ada kenangan menyenangkan, yang walau juga dilupakan, akan muncul kembali dari ketaksadaran, berkat trigger effect atawa efek pelatuk. Ketaksadaran berhubungan juga dengan psike yang sadar, sebagai sejumlah pikiran sementara yang kabur, kesan-kesan dan bayangan-bayangan yang meskipun sudah hilang, terus-menerus mempengaruhi pikiran sadar seseorang.

Dilema ini kadang-kadang dipecahkan oleh gagasan-gagasan baru yang mengherankan, seperti inspirasi ide-ide terbaik yang tiba-tiba muncul keluar dari ketaksadaran, yang juga terjadi pada para ilmuwan, filsuf, dan seniman (Jung 1986, 56-63). Kerja kenangan yang seperti ini, tidak berarti membuat seorang penulis tak perlu bekerja keras. Sebaliknya, seorang penyair memiliki disiplin untuk selalu mempersiapkan dan mengarahkan diri untuk peka, dengan mendekatkan dirinya kepada situasi apapun yang akan memicu kreativitasnya.

Dengan cara itulah memoar ini, sebagai kumpulan puisi, mendapatkan “suara”-nya--dalam hal ini “suara” datang dari aku-lirik ‘ku’. Kenangan tidak menjadi sahih karena “sama” dengan masa lalu, karena kenangan memiliki kualitasnya sendiri.

Dalam evolusi emosi, semakin berjarak ruang dan waktunya, semakin termatangkan gagasan yang terendap di bawah ambang kenangan, yang dari saat ke saat terpicu keluar, dan terproses menjadi puisi, untuk terurutkan dalam Dari Paris dengan Cinta gubahan Noorca M. Massardi ini. Syukurlah!

Salam

SGA

Pondok Ranji, Kamis 28 Desember 2023. 17:34.